Siapa yang tidak kenal Teh Sosro? Selama bergenerasi – generasi
kehadirannya telah menemani Anda. Sehingga siapapun yang berada di
belakangnya pastilah beruntung. Dan tentu saja, itu adalah trah
Sosrodjojo. Akan tetapi, ada satu hal yang menarik. Sebagai generasi
ketiga dari trah Sosrodjojo, Indra Sosrodjojo justru kini mantap menggeluti bidang lain. Yaitu bisnis software lokal. Menurutnya, ada potensi yang sangat besar disini.
Mengejar passion
Kecintaan Indra Sosrodjojo terhadap dunia teknologi datang ketika ia
memilih kuliah di Fakultas Elektro Universitas Trisakti Jakarta pada
tahun 1979. “Saya mulai tertarik terhadap dunia IT sejak kuliah di
Trisakti, Jurusan Elektronika. Saat itu, mulai kenal dengan komputer
dan programming, lantas lebih jauh lagi saya tertarik dari sisi
otomasinya.”
Kecintaan inilah yang membuatnya mantap untuk melanjutkan bangku
kuliah di Amerika Serikat dengan mengambil jurusan Managerial
Information System. Barulah pada 1985, ia kembali ke Indonesia dan mulai
mengembangkan bisnis software melalui PT Grahacendekia Inforindo. Pada
tahun 1988, ia mengenalkan nama dagang “Andal Software” yang berkibar
sampai sekarang.
Memburu model bisnis yang menjual.
Bukan berarti bisnisnya lancar sejak ia pertama kali berdiri. Indra
bahkan mengaku sempat bergelut selama bertahun-tahun hanya untuk
menemukan model bisnis yang bisa berkembang dengan mudah seperti
sekarang ini.
“Bisnis saya sempat jatuh pada tahun 2002 karena sifat produk software yang dibuat bersifat custom,” katanya. Custom
berarti Anda mengerjakan setiap pesanan pelanggan satu persatu. Model
seperti ini memiliki tantangan tersendiri. Semakin tinggi angka
penjualan Anda, bukan berarti bisnis Anda semakin berkembang. Seringkali
justru disertai dengan kewalahan waktu dan tenaga. Karena, seringkali
pula, butuh waktu lama untuk menyelesaikan setiap kustomisasi.
Akhirnya, barulah pada 2004 mereka membuat produk baru yang tidak
memerlukan kustomisasi, yakni “Andal PayMaster”. Produk inilah yang
menurut Indra menjadi penyelamat bisnis mereka karena pertumbuhan kian
naik. Hingga kini, piranti lunak dengan merek Andal sudah memiliki
tempat tersendiri di pasar software nasional. Bahkan Andal Software
telah memiliki lebih dari 100 klien yang berasal dari bidang
pertambangan, perbankan, garmen, hotel, manufakturing dan lain-lain.
Indra menarik kesimpulan bahwa membuat produk custom tidak bisa
begitu saja menaikkan market secara signifikan. Hal ini sangat kontras
dengan kenyataan di lapangan. Jumlah perusahaan IT di Indonesia lebih
terbilang banyak. Dari jumlah itu, mirisnya sekitar 200 – 300 perusahaan
bermain di software dan 80% dari jumlah tersebut
membuat software berdasarkan pesanan. Jumlah perusahaan yang membuat
produk tidak lebih dari 20 perusahaan.
Peluang yang masih terbuka lebar
Perkembangan kebutuhan software di Indonesia terus meningkat dari
tahun ke tahun. “Perkembangan kebutuhan software di Indonesia meningkat
terus dari tahun ke tahun, dari 687 juta dolar Amerika di tahun lalu,
akan menjadi 800 juta dolar Amerika di tahun ini, atau naik 14%,”
katanya.
Belum lagi menurut data Business Monitoring International, jumlah
perusahaan yang belum menggunakan IT sebesar 30 hingga 35 juta
perusahaan.
“Potensi Industri TI lokal itu sangat besar, tapi sayang 90 % nya
dikuasai asing, perusahaan lokal justru hanya dapat sisanya,” kata Indra
menyayangkan. “Yang artinya kita tidak merasa di rumah sendiri.”
Padahal, kesempatan pasar masih terbuka lebar. “Pemain lokal harus banyak yang bermain di bisnis ini,” tambahnya.
Nah Sobat Entpreneur, bagaimana menurut Anda? Anda merasa terpanggil? Mari berdiskusi di kolom komentar!
http://studentpreneur.co/penerus-generasi-ketiga-justru-tinggalkan-teh-sosro-demi-passionnya/?utm_campaign=bisnis&utm_medium=referral&utm_source=yahoo.com
No comments:
Post a Comment
Komentar